mau cari yang lain

Minggu, 01 Maret 2009

HUKUM ADAT

REKONSEPTUALISASI HUKUM ADAT

(Sulastriyono)

Tidak ada yang menyangkal lagi bahwa hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat (the living law). Sadar atau tidak setiap hari kita telah melaksanakan nilai-nilai budaya hukum adat dalam berbagai aktivitas sosial budaya di masyarakat dengan mengimplementasikan kearifan lokal. Kegiatan gotong royong, tolong menolong, musyawarah guna menyelesaikan suatu masalah merupakan contoh konkrit pelaksanaan nilai-nilai budaya hukum adat. Bahkan dengan nilai-nilai tersebut ternyata mampu menyelesaikan berbagai konflik di berbagai daerah rawan konflik seperti di Sampit, Aceh, Poso dan Maluku.

Namun, ketika ditanyakan apakah hukum adat itu maka ada berbagai macam jawaban. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini ada kontroversi mengenai konsep hukum adat. Pada hal, seperti yang diungkapkan oleh Darmini Mawardi (pakar hukum adat UGM) pada acara Kuliah Umum di Fakultas Hukum UMY pada hari Selasa, 1 Mei 2007 (KR, tgl 3 Mei 2007, hal 17) bahwa hukum adat masih sangat diperlukan. Hanya saja, agar hukum adat tetap eksis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan sistem hukum nasional maka sangat mendesak untuk segera dilaksanakan pengkajian ulang terhadap konsep-konsep hukum adat. Rekonseptualisasi tersebut tidak hanya terhadap pengertian hukum adat saja tetapi juga terhadap substansi/ isi serta esensi hukum adat.

Budaya hukum adat berisi faktor-faktor penentu untuk memperoleh kedudukan/ tempat dan dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat Indonesia. Sedangkan fungsi budaya hukum adat yaitu memberikan masukan dan keluaran proses pembuatan sistem hukum Indonesia. Karakteristik fungsional budaya hukum adat adalah gagasan-gagasan yang dominan, kecenderungan dan gayanya yang bersifat menentang, melemahkan atau memperkuat sistem hukum Indonesia. Pada mulanya budaya hukum di Indonesia adalah budaya hukum tidak tertulis (unwritten law) atau budaya hukum adat. Namun dalam perkembangannya, sebagai akibat penjajahan Belanda, budaya hukum adat berubah menjadi budaya hukum tertulis. Disatu sisi, dominasi hukum tertulis memberikan kepastian hukum dalam menyelesaikan perkara. Namun di lain sisi, terjebak pada sifatnya yang kaku sehingga sulit menjalankan fungsinya dalam memberikan jaminan keadilan kepada masyarakat.

Peran hukum adat sebagai wujud budaya hukum Indonesia perlu dioptimalkan sejalan dengan semangat pelaksanaan reformasi. Hal ini telah ditegaskan oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, sangatlah mendesak dan perlu segera dilaksanakan rekonseptualisasi hukum adat guna memberikan makna dan semangat baru seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Rekonseptualisasi terhadap hukum adat bermanfaat ganda karena akan berdampak positif bagi eksistensi dan perkembangan hukum adat di masyarakat dan juga berdampak positif bagi pembangunan citra hukum adat dalam dunia ilmu hukum. Rekonseptualisasi hukum adat dapat diartikan sebagai upaya pemberian makna dan semangat baru terhadap hukum adat terkait dengan kontroversi dalam masyarakat bahwa hukum adat dewasa ini sedang mengalami krisis yang berkonotasi bahwa hukum adat stagnant (mandeg) bahkan mundur.

Berdasarkan penelusuran pustaka dan penelitian, pengertian hukum adat bergeser yaitu sebagai hukum yang dibuat oleh dan untuk rakyat (folk law) sebagai lawan dari hukum negara (state law), bentuknya tidak tertulis, ditaati secara sukarela dan dijalankan (ditegakkan) oleh masyarakat tanpa ada paksaan dari pemerintah. Sedangkan substansi dan esensi hukum adat dibedakan dalam empat tataran: yaitu tataran nilai budaya, tataran norma-norma, tataran hukum dan tataran aturan-aturan khusus. Pada tataran tertinggi dan pertama, hukum adat sebagai nilai budaya memiliki ruang lingkup yang paling abstrak dan luas karena berupa sekumpulan ide-ide/ gagasan yang paling tinggi nilainya yang mengandung prinsip–prinsip pokok. Oleh karena kedudukan dan dan sifatnya yang abstrak maka sering irrasional. Pada tataran kedua hukum adat sebagai norma yang berisi asas-asas hukum (rechtsbeginselen) dan berperan sebagai pedoman tingkah laku yang bersifat normatif. Hukum adat dalam tataran ketiga yaitu sebagai hukum yang berfungsi sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat (melarang atau memerintahkan) dan disertai sanksi bagi pelanggar. Pada tataran keempat, hukum adat sebagai aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas bidang kehidupan tertentu dalam kehidupan masyarakat, seperti bidang jual beli, perkawinan, pewarisan dan sebagainya.

Sebagai penutup tulisan ini ada tawaran sebagai rekomendasi dalam rangka melaksankan rekonseptualisasi hukum adat: pertama, penelusuran pustaka dan penelitian hukum adat yang selama ini menggunakan pendekatan dogmatis harus segera ditinggalkan dan diganti dengan pendekatan baru yaitu nondogmatis yang ditawarkan oleh ilmu sosial seperti antropologi hukum. Kedua, perlu dilestarikan dan dikembangkan nilai-nilai budaya hukum adat pada setiap orang Indonesia melalui berbagai jalur pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga, perlu diadakan penelusuran dan penelitian secara terus menerus atas kearifan lokal yang terkandung dalam nilai-nilai budaya hukum adat yang senantiasa berkembang dalam masyarakat baik di desa maupun di kota sehingga hukum adat selalu up to date.